Kekuatan Diri Versus Menyikapi Masalah
Oleh Imam Ratrioso Psi
Direktur Safaro Consulting
Sejauh-jauhnya perjalanan keliling dunia, sedalam-dalamnya penyelaman di lautan samudera, setinggi-tingginya pendakian gunung, tak bisa menyamai perjalanan masuk ke dalam diri sendiri.
Betapa indah ungkapan ini! Dan tak hanya indah, tapi juga sangat mendalam untuk menunjukkan bahwa kebesaran semesta yang dianalogikan dengan dunia, samudera dan gunung, tak akan bisa mengalahkan proses diri manusia mengenali diri sendiri. Perjalanan mengenal diri sendiri memang proses yang tak kunjung selesai, dinamis dan progresif. Ia melewati waktu, pengalaman, riak suka dan duka serta ketentuan Tuhan atas hidup itu sendiri.
Islam sebagai ajaran telah memberikan banyak porsi perhatian dan pembekalan terkait dengan upaya pengenalan diri manusia ini. Ayat-ayat al-Qur’an yang mempertanyakan perilaku manusia agar tetap mengenali jati dirinya tertera begitu banyak: “Wa fii anfusikum, afalaa tubsiruun”; “ Afala ta’qiluun”, “Afala tatadabbarun”, adalah salah satu contohnya. Singkat tapi menyimpan banyak pesan positif.
Ayat “Wa fii anfusikum afala tubshiruun?” (Dan di dalam dirimu sendiri, apakah tidak kamu perhatikan?) seolah menjadi sindiran al-Qur’an terhadap manusia yang di satu sisi terkesan lalai tidak memperhatikan kekuatan apa yang terdapat di dalam dirinya, dan di sisi lain terlalu sibuk mengurusi masalah dirinya sehingga tenggelam dalam lautan masalah tanpa solusi.
Prinsip keseimbangan
Masalah itu, apapun bentuknya, tak ubahnya seperti organisme hidup. Dia bisa membesar dan mengecil, bisa semakin berat, bisa semakin ringan, bisa terus menerus ada, bisa hilang dalam sekejap tergantung dari sikap dan sudut pandang kita. Dia bisa terus membesar kalau kita menganggapnya besar, dan akan terus membesar selama kita menganggap diri kita lebih kecil dari masalah itu sendiri. Bila diibaratkan, masalah yang sebenarnya hanya 1 kg, bisa bertambah besar menjadi 1 ton ketika kita menganggap kemampuan kita menangani masalah itu hanya seberat 1 kuintal saja. Jelas hal ini sangat timpang.
Terlepas dari bagaimana kita membuat pandangan tentang beban masalah itu, ada prinsip mendasar yang dinyatakan secara tegas oleh Allah tentang bagaimana sebaiknya kita menyikapi masalah. Prinsipnya adalah bahwa Allah tidak akan membebani kita sesuatu (masalah) kecuali sesuai dengan takaran kemampuan kita, seperti yang tertera dalam ayat “La yukallifullohu nafsan illa wus’aha, laha ma kasabat, wa alaiha maktasabat”. Inilah yang dimaksud prinsip keseimbangan itu. Artinya, seberat dan sebesar apapun masalah, hakikatnya kita telah dibekali kemampuan untuk menyelesaikan masalah itu.
Bila sudut pandang kita lebih condong pada prinsip keseimbangan yang menandakan adanya kemampuan kita, maka beban masalah itu akan kita atasi. Sebaliknya, bila kita cenderung menganggap masalah itu lebih besar dari kemampuan kita, maka risiko yang kita terima pun akan membawa kita pada rasa beban yang lebih berat di diri kita sendiri, laha makasabat, wa’alaiha maktasabat.
Fokus
Seiring dengan datangnya masalah dan kemampuan proporsional kita dalam menyikapi masalah, secara naluri, diri kita akan terbawa pada perilaku di mana kita mulai fokus pada kekuatan yang kita miliki, dan bukan sebaliknya, terbawa irama masalah yang kerap menenggelamkan kekuatan kita. Untuk itu, kita perlu memetakan modalitas kekuatan diri kita yang telah diberikan secara lengkap oleh Allah. Kekuatan itu meliputi kekuatan pikiran, hati (iman), dan fisik (pancaindra) ditambah dengan kekuatan ilmu, jaringan, pengalaman dan ekonomi yang telah kita himpun sepanjang perjalanan hidup kita.
Modalitas kekuatan yang kita miliki ini perlu diberdayakan semaksimal mungkin untuk mencari dan menemukan solusi alternatif dari beban masalah yang ada di hadapan kita. Ibarat kaca pembesar yang memfokuskan sinar matahari pada satu titik, begitu pulalah sikap kita pada masalah, yakni fokus pada solusi atas masalah, meski bentuk dan prosesnya tak serta merta dapat terjadi dengan cepat begitu saja.
Fokus yang tersistematis pada kekuatan dan kelebihan kita, pada akhirnya akan menjadikan kita sebagai “petarung sejati” atas kenyataan-kenyataan ataupun masalah hidup yang terjadi. Tak ubahnya seperti tandem ataupun sparing patner dalam dunia olahraga, masalah hidup justru menaikkan derajat hidup kita karena secara alami kemampuan mental dan sudut pandang kita berubah menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Seperti kata pepatah “Lautan yang tenang tak pernah bisa melahirkan nahkoda yang handal, tapi lautan yang penuh ombak dan badai akan membentuk nahkoda yang tangguh.”
0 komentar:
Post a Comment