BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sebagai
makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain
dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam,
sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus
berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain
dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan
kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan
dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk
berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah
ditakdirkan oleh Allah. karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia
mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan
universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat
diimplementasikan dalam setiap masa.
Dalam
pembahasan fiqih, akad atau kontrak yang dapat digunakan bertransaksi sangat
beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi kebutuhan yang ada.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang pembagian atau macam-macam akad secara
spesifik, akan dijelaskan teori akad secara umum yang nantinya akan dijadikan
sebagai dasar untuk melakukan akad-akad lainnya secara khusus . Maka dari itu,
dalam makalah ini saya akan mencoba untuk menguraikan mengenai berbagai hal
yang terkait dengan akad dalam pelaksanaan muamalah di dalam kehidupan kita
sehari-hari.
B. Rumusan
Masalah
Dari
beberapa latar belakang yang telah dibuat, penulis dapat merumuskan beberapa rumusan
masalah, antara lain :
1. Apa
pengertian dari Akad ?
2. Bagaimana
pembentukan Akad ?
3. Apa saja
rukun – rukun dalam Akad ?
4. Apa saja
Syarat – syarat dari Akad ?
5. Ada berapa
pembagian Akad dan sifatnya ?
6. Bagaimana
kedudukan, fungsi, ketentuan dan pengaruh aib dalam Akad ?
C. Tujuan
Pembahasan
Dalam
penulisan makalah ini ada beberapa tujuan yang dinginkan penulis :
1. Tujuan
Khusus
Memenuhi tugas mata kuliah Fiqih II
2. Tujuan Umum
Dengan penulisan makalah ini
diharapkan bisa menambah pengetahuan tentang Akad, bagi penulis maupun pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Akad
Secara
literal, akad berasal dari bahasa arab yaitu عَقَدَ
يَعْقِدُ عَقْدًا
yang berarti perjanjian atau persetujuan. Kata ini juga bisa
diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang
berakad. Dalam kitab fiqih sunnah, kata akad diartikan dengan hubungan ( الرّبْطُ )
dan kesepakatan ( الاِتِفَاقْ ).
Secara
terminologi ulama fiqih, akad dapat ditinjau dari segi umum dan segi khusus.
Dari segi umum, pengertian akad sama dengan pengertian akad dari segi bahasa
menurut ulama Syafi'iyah, Hanafiyah, dan Hanabilah yaitu segala sesuatu yang
dikerjakan oleh seseorang berdasakan keinginananya sendiri seperti waqaf,
talak, pembebasan, dan segala sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan
dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai. Sedangkan dari segi khusus
yang dikemukakan oleh ulama fiqih antara lain:
Ø Perikatan
yang ditetapkan dengan ijab-qabul berdasarkan ketentuan syara' yang berdampak
pada objeknya.
Ø Keterkaitan
ucapan antara orang yang berakad secara syara' pada segi yang tampak dan
berdampak pada objeknya.
Ø Terkumpulnya
adanya serah terima atau sesuatu yang menunjukan adanya serah terima yang
disertai dengan kekuatan hukum.
Ø Perikatan
ijab qabul yang dibenarkan syara' yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak.
Ø Berkumpulnya
serah terima diantara kedua belah pihak atau perkataan seseorang yang
berpengaruh pada kedua belah pihak.
Para pakar hukum membedakan antara
akad dan kesepakatan atas dasar bahwa kesepakatan (perikatan) lebih umum dalam
pemakaiannya dibandingkan akad. Dengan demikian, pemakaian istilah akad lebih
terperinci kepada hal yang lebih penting dan khusus kepada apa yang telah
diatur dan memiliki ketentuan. Sedangkan istilah kesepakatan tidak harus demikian,
akan tetapi dapat dipakai dalam hal apa saja yang serupa, misalanya untuk
melengkapi kegiatan manusia untuk semacam janji yang tidak memiliki nama khusus
atau aturan tertentu.
Kesepakatan antara dua keinginan
dalam mencapai komitmen yang diinginkan pada waktu yang akan datang dan telah
diketahui secara mutlak seperti jual beli atau pemindahan hutang piutang.
Sedangkan akad dapat dipahami sebagai sebatas kesepakatan dalam mencapai suatu.
Adapun yang membedakan antara keduanya adalah kecakapan pelaku.
Kecakapan pelaku akad berbeda dengan
kecakapan dalam pelaku perikatan, karena keduanya memiliki nilai hasil
masing-masing. Dan pelaku akad tidak dibebani tanggung jawab dan syarat
sebanyak pelaku perikatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesepakatan
atau perikatan memiliki arti lebih luas dibandingkan akad.
Dalam pelaksanaan akad, keinginan
peribadi (individu) merupakan kekuatan yang paling besar dan mendasar dalam
pembentukan akad dan juga berfungsi membatasi nilai-nilai yang dihasilkan.
Kekuasaan (kekuatan) peribadi disandarkan untuk melindungi hak dan kebebasan
individu. Dalam pelaksanaan akad pemberian (donasi), berbeda dengan pelaksaan
akad peminjaman yang merupakan aktifitas serupa bila dikategorikan serupa dalam
pelaksanaan akad, tapi yang membedakannya adalah dari segi kecakapan di pelaku.
Yang perlu diperhatikan adalah
kesepakatan yang dimasukkan dalam pembahasan akad, yang dalam pemahaman ini,
akad harus mengikuti pembahasan dalam hukum privat dari satu segi dan di sisi
lain akad yang masuk dalam kategori aktifitas pengelolaan keuangan (mu'amalah
al-maliyah).
Akan tetapi dalam hukum Romawi,
kesepakatan untuk melaksanakan akad tidak bisa diterima apabila hanya
berlandaskan keinginan peribadi semata tanpa memiliki kekuatan hukum, akan
tetapi harus mengikuti bentuk administrasi tertentu (khusus).
Sedangkan defenisi akad menurut ulama syari'ah adalah ikatan antara ‘ijab' dan ‘qabul' yang diselenggarakan menurut ketentuan syari'ah di mana terjadi konsekuensi hukum atas sesuatu yang karenanya akad tersebut diselenggarakan.
Sedangkan defenisi akad menurut ulama syari'ah adalah ikatan antara ‘ijab' dan ‘qabul' yang diselenggarakan menurut ketentuan syari'ah di mana terjadi konsekuensi hukum atas sesuatu yang karenanya akad tersebut diselenggarakan.
Dari uraian diatas dapat dinyatakan
bhawa Kedudukan dan fungsi akad adalah sebagai alat paling utama dalam sah atau
tidaknya muamalah dan menjadi tujuan akhir dari muamalah.
Akad yang menyalahi syariat seperti
agar kafir atau akan berzina, tidak harus ditepati. Akad-akad yang dipengaruhi
aib adalah akad-akad pertukaran seperti jual beli dan akad sewa.
B. Pembentukan
Akad
Dalam
pelaksanaan akad atau pembentukannya, baru dapat dikatakan benar, sah atau
diakui keberadaannya oleh hukum apabila semua unsur pembentuknya terpenuhi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di antaranya adalah adanya unsur
unsur‘ridla', unsur objek akad (‘mahal') dan unsur sebab akibat (‘sabab') serta
‘ganjaran' apabila asas (rukun)-nya tidak dipenuhi (konsekuensi). Sebelum
melakukan akad (perikatan) pelaku akad harus menentukan jenis, hakikat tujuan,
bentuk dan nama yang sudah umum. Sehingga pihak hakim bisa mengambil kesimpulan
dari bentuk pelaksanaan akad itu.
Dan apabila
didapati kesamaran (keraguan) dalam bentuk, jenis, nama dan sebagainya, yang
dengan kesamaran tersebut, hakim tidak bisa menyimpulkan bentuk akadnya, maka
pihak hakim berhak mengambil kesimpulan dengan lebih memprioritaskan pihak yang
berhutang.
C. Rukun –
Rukun Akad
1.
Aqid (Orang yang Menyelenggarakan Akad)
Aqid adalah pihak-pihak yang
melakukan transaksi, atau orang yang memiliki hak dan yang akan diberi hak,
seperti dalam hal jual beli mereka adalah penjual dan pembeli. Ulama fiqh
memberikan persyaratan atau criteria yang harus dipenuhi oleh aqid antara lain
:
·
Ahliyah
Keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi. Biasanya mereka akan memiliki ahliyah jika telah baligh atau mumayyiz dan berakal. Berakal disini adalah tidak gila sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal. Sedangkan mumayyiz disini artinya mampu membedakan antara baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan antara merugikan dan menguntungkan.
Keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi. Biasanya mereka akan memiliki ahliyah jika telah baligh atau mumayyiz dan berakal. Berakal disini adalah tidak gila sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal. Sedangkan mumayyiz disini artinya mampu membedakan antara baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan antara merugikan dan menguntungkan.
·
Wilayah
Wilayah bisa diartikan sebagai hak dan kewenangan seseorang yang mendapatkan legalitas syar'i untuk melakukan transaksi atas suatu obyek tertentu. Artinya orang tersebut memang merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu obyek transaksi, sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikannya. Dan yang terpenting, orang yang melakukan akad harus bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihannya secara bebas.
Wilayah bisa diartikan sebagai hak dan kewenangan seseorang yang mendapatkan legalitas syar'i untuk melakukan transaksi atas suatu obyek tertentu. Artinya orang tersebut memang merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu obyek transaksi, sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikannya. Dan yang terpenting, orang yang melakukan akad harus bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihannya secara bebas.
2.
Ma'qud ‘Alaih (objek transaksi)
·
Ma'qud ‘Alaih harus memenuhi beberapa persyaratan
sebagai berikut :
Obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan.
Obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan.
·
Obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwim (harta
yang diperbolehkan syara' untuk ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh
pemiliknya.
·
Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya
akad, atau dimungkinkan dikemudian hari.
·
Adanya kejelasan tentang obyek transaksi.
·
Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan
bukan barang najis.
3.
Shighat, yaitu Ijab dan Qobul
Ijab Qobul merupakan ungkapan yang
menunjukkan kerelaan atau kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak atau
akad. Definisi ijab menurut ulama Hanafiyah adalah penetapan perbuatan tertentu
yang menunjukkan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang
menyerahkan maupun menerima, sedangkan qobul adalah orang yang berkata setelah
orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan keridhaan atas ucapan orang yang
pertama. Menurut ulama selain Hanafiyah, ijab adalah pernyataan yang keluar
dari orang yang menyerahkan benda, baik dikatakan oleh orang pertama atau
kedua, sedangkan Qobul adalah pernyataan dari orang yang menerima.
Dari dua pernyataan definisi diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa akad Ijab Qobul merupakan ungkapan antara kedua
belah pihak yang melakukan transaksi atau kontrak atas suatu hal yang dengan
kesepakatan itu maka akan terjadi pemindahan ha kantar kedua pihak tersebut.
Dalam ijab qobul terdapat beberapa syarat
yang harus dipenuhi , ulama fiqh menuliskannya sebagai berikut :
a. adanya
kejelasan maksud antara kedua belah pihak.
b. Adanya kesesuaian
antara ijab dan qobul
c. Adanya
pertemuan antara ijab dan qobul (berurutan dan menyambung).
d. Adanya satu
majlis akad dan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, tidak menunjukkan
penolakan dan pembatalan dari keduannya.
Ijab Qobul akan dinyatakan batal
apabila :
a. penjual
menarik kembali ucapannya sebelum terdapat qobul dari si pembeli.
b. Adanya penolakan
ijab dari si pembeli.
c. Berakhirnya
majlis akad. Jika kedua pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah
dari majlis akad. Ijab dan qobul dianggap batal.
d. Kedua pihak atau
salah satu, hilang ahliyah -nya sebelum terjadi kesepakatan
e. Rusaknya
objek transaksi sebelum terjadinya qobul atau kesepakatan.
D. Syarat –
Syarat Akad
1. Syarat
terjadinya akad
Syarat terjadinya akad adalah segala
sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara'. Syarat ini
terbagi menjadi dua bagian yakni umum dan khusus. Syarat akad yang bersifat
umum adalah syarat–syarat akad yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai
akad. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam setiap akad adalah:
Ø Pelaku akad
cakap bertindak (ahli).
Ø Yang
dujadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
Ø Akad itu
diperbolehkan syara'dilakukan oleh orang yang berhak melakukannya walaupun
bukan aqid yang memiliki barang.
Ø Akad dapat
memberikan faidah sehingga tidak sah bila rahn dianggap imbangan amanah.
Ø Ijab itu
berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Oleh karenanya akad
menjadi batal bila ijab dicabut kembali sebelum adanya kabul.
Ø Ijab dan
kabul harus bersambung, sehingga bila orang yang berijab berpisah sebelum
adanya qabul, maka akad menjadi batal.
Sedangkan syarat yang bersifat
khusus adalah syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat
ini juga sering disebut syarat idhafi(tambahan yang harus ada disamping
syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.
2. Syarat
Pelaksanaan akad
Dalam pelaksanaan akad, ada dua
syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki
oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya
sesuai dengan aturan syara'. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam
ber-tasharuf sesuai dengan ketentuan syara'.
3. Syarat
Kepastian Akad (luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian. Seperti
contoh dalam jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika
luzum Nampak maka akad batal atau dikembalikan.
E. Pembagian
Akad dan sifat – sifatnya
Pembagian
akad dibedakan menjadi beberapa bagian berdasarkan sudut pandang yang berbeda,
yaitu:
1.
Berdasarkan ketentuan syara'
a) Akad shahih
Akad shahih adalah akad yang
memenuhi unsur dan syarat yang ditetapkan oleh syara'. Dalam istilah ulama
Hanafiyah, akad shahih adalah akad yang memenuhi ketentuan syara' pada asalnya
dan sifatnya.
b) Akad tidak
shahih
Akad tidak shahih adalah akad yang tidak
memenuhi unsur dan syarat yang ditetapkan oleh syara'. Dengan demikian, akad
ini tidak berdampak hukum atau tidak sah. Jumhur ulama selain Hanafiyah
menetapkan akad bathil dan fasid termasuk kedalam jenis akad tidak shahih,
sedangkan ulama Hanafiyah membedakan antara fasid dengan batal.
Menurut ulama Hanafiyah, akad batal adalah akad yang tidak memenuhi memenuhi rukun atau tidak ada barang yang diakadkan seperti akad yang dilakukan oleh salah seorang yang bukan golongan ahli akad. Misalnya orang gila, dan lain-lain. Adapun akad fasid adalah akad yang yang memenuhi persyaratan dan rukun, tetapi dilarang syara' seperti menjual barang yang tidak diketahui sehingga dapat menimbulkan percekcokan.
Menurut ulama Hanafiyah, akad batal adalah akad yang tidak memenuhi memenuhi rukun atau tidak ada barang yang diakadkan seperti akad yang dilakukan oleh salah seorang yang bukan golongan ahli akad. Misalnya orang gila, dan lain-lain. Adapun akad fasid adalah akad yang yang memenuhi persyaratan dan rukun, tetapi dilarang syara' seperti menjual barang yang tidak diketahui sehingga dapat menimbulkan percekcokan.
2.
Berdasarkan ada dan tidak adanya
qismah
a) Akad musamah
, yaitu akad
yang telah ditetapkan syara' dan telah ada hukum-hukumnya, seperti jual beli,
hibah, dan ijarah.
b) Ghair
musamah yaitu akad
yang belum ditetapkan oleh syara' dan belum ditetapkan hukumnya.
3.
Berdasarkan zat benda yang diakadkan
a)
Benda yang berwujud
b)
Benda tidak berwujud.
4.
Berdasarkan adanya unsur lain
didalamnya
a) Akad munjiz yaitu akad yang dilaksanakan
langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan
pelaksaan akad adalah pernyataan yang disertai dengan syarat-syarat dan tidak
pula ditentukan waktu pelaksanaan adanya akad.
b) Akad mu'alaq adalah akad yand didalam
pelaksaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya
penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
c) Akad mudhaf ialah akad yang didalam
pelaksaannya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksaan akad,
pernyataan yang pelaksaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan.
Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat
hukum sebelum tidanya waktu yang ditentukan.
5.
Berdasarkan disyariatkan atau
tidaknya akad
a) Akad
musyara'ah ialah akad-akad yang debenarkan syara' seperti gadai dan jual beli.
b) Akad
mamnu'ah ialah akad-akad yang dilarang syara' seperti menjual anak kambing
dalam perut ibunya.
6.
Berdasarkan sifat benda yang menjadi
objek dalam akad
a) Akad
ainniyah ialah akad
yang disyaratkan dengan penyerahan barang seperti jual beli.
b) Akad ghair
‘ainiyah ialah akad
yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barangg karena tanpa penyerahan
barangpun akad sudah sah.
7.
Berdasarkan cara melakukannya
a) Akad yang
harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti akad pernikahan dihadiri
oleh dua saksi, wali, dan petugas pencatat nikah.
b) Akad
ridhaiyah ialah akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi karena
keridhaan dua belah pihak seperti akad-akad pada umumnya.
8.
Berdasarkan berlaku atau tidaknya
akad
a)
Akad nafidzah , yaitu akad yang bebas atau
terlepas dari penghalang-penghalang akad
b)
Akad mauqufah , yaitu akad –akad yang bertalian
dengan persetujuan-persetujuan seperti akad fudluli (akad yang berlaku setelah
disetujui pemilik harta)
9.
Berdasarkan luzum dan dapat
dibatalkan
a)
Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang
tidak dapat dipindahkan seperti akad nikah. Manfaat perkawinan, seperti
bersetubuh, tidak bisa dipindahkan kepada orang lain. Akan tetapi, akad nikah
bisa diakhiri dengan dengan cara yang dibenarkan syara'
b)
Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak, dapat
dipindahkan dan dapat dirusakkan seperti akad jual beli dan lain-lain.
c)
Akad lazimah yang menjadii hak kedua belah pihak tanpa
menunggu persetujuan salah satu pihak. Seperti titipan boleh diambil orang yang
menitip dari orang yang dititipi tanpa menungguu persetujuan darinya. Begitupun
sebalikanya, orang yang dititipi boleh mengembalikan barang titipan pada orang
yang menitipi tanpa harus menunggu persetujuan darinya.
10. Berdasarkan
tukar menukar hak
a) Akad
mu'awadhah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti akad jual
beli
b) Akad
tabarru'at, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan
seperti akad hibah.
c) Akad yang
tabaru'at pada awalnya namun menjadi akad mu'awadhah pada akhirnya seperti akad
qarad dan kafalah.
11. Berdasarkan
harus diganti dan tidaknya
a) Akad dhaman , yaitu akad yang menjadi tanggung
jawab pihak kedua setelah benda-benda akad diterima seperti qarad.
b) Akad amanah , yaitu tanggung jawab kerusakan
oleh pemilik benda bukan, bukan oleh yang memegang benda, seperti titipan.
c) Akad yang
dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu seginya adalah dhaman dan segi yang
lain merupakan amanah, seperti rahn.
12. Berdasarkan
tujuan akad
a) Menimbulkan Tamlik
(milik): seperti jual beli
b) mengadakan
usaha bersama seperti syirkah dan mudharabah
c) tautsiq
(memperkokoh kepercayaan) seperti rahn dan kafalah
d) menyerahkan
kekuasaan seperti wakalah dan washiyah
e) mengadakan
pemeliharaan seperti ida' atau titipan
13. Berdasarkan
faur dan istimrar
a) Akad
fauriyah , yaitu
akad-akad yang tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksaaan akad hanya sebentar
saja seperti jual beli.
b) Akad
istimrar atau zamaniyah , yaitu hukum akad terus berjalan, seperti I'arah .
14. Berdasarkan
asliyah dan tabi'iyah
a)
Akad asliyah yaitu akad yang berdiri sendiri
tanpa memerlukan adanya sesuatu yang lain seperti jual beli dan I'arah.
b)
Akad tahi'iyah , yaitu akad yang membutuhkan adanya
yang lain, seperti akad rahn tidak akan dilakukan tanpa adanya hutang.
F. Kedudukan, Fungsi, Ketentuan dan Pengaruh Aib dalam Akad
·
Kedudukan dan fungsi akad adalah sebagai alat paling
utama dalam sah atau tidaknya muamalah dan menjadi tujuan akhir dari muamalah.
·
Akad yang menyalahi syariat seperti agar kafir atau
akan berzina, tidak harus ditepati.
·
Tidak sah akad yang disertai dengan syarat. Misalnya
dalam akad jual beli aqid berkata: “Aku jual barang ini seratus dengan syarat
dengan syarat kamu menjual rumahmu padaku sekian…,” atau “aku jual rumah barang
ini kepadamu tunai dengan harga sekian atau kredit dengan harga sekian”, atau
“aku beli barang ini sekian asalakan kamu membeli dariku sampai dengan jangka
waktu tertentu sekian”.
·
Akad yang dapat dipengaruhi Aib adalah akad akad-akad
yang mengandung unsur pertukaran seperti jual beli atau sewa.
·
Cacat yang karenanya barang dagangan bisa dikembalikan
adalah cacat yang bisa mengurangi harga/nilai barang dagangan, dan cacat harus
ada sebelum jual beli menurut kesepakatan ulama. Turunnya harga karena
perbedaan harga pasar, tidak termasuk cacat dalam jual beli.
·
akad yang tidak
dimaksudkan untuk pertukaran seperti hibah tanpa imbalan, dan sedekah, tak ada
sedikitpun pengaruh aib di dalamnya.
·
Akad tidak akan rusak/ batal sebab mati atau gilanya
aqid kecuali dalam aqad pernikahan.
·
Nikah tidak dikembalikan (ditolak) lantaran adanya
setiap cacat yang karenanya jual beli dikembalikan, menurut ijma' kaum
musllimin, selain cacat seperti gila,kusta, baros, terputus dzakarnya,
imptoten, fataq (cacat kelamin wanita berupa terbukanya vagina sampai lubang
kencing atau Ada juga yang mengatakan sampai lubang anus (cloaca). Kebalikan
dari fatq adalah rataq, yaitu tertutupnya vagina oelh daging tumbuh), qarn
(tertutupnya vagina oleh tulang), dan adlal, tidak ada ketetapan khiyar tanpa
diketahui adanya khilaf diantara ahlul ilmi. Dan disyaratkan bagi penetapa
khiyar bagi suami tidak mengetahuinya pada saat akad dan tidak rela dengan
cacat itu setelah akad. Apabila ia tahu cacat itu setelah akad atau sesudahnya
tetapi rela, maka ia tidak mempunyai hak khiyar. Dan tidak ada khilaf bahwa
tidak adanya keselamatan suami dari cacat, tidak membatalkan nikah, tapi hak
khiyar tetap bagi si perempuan, bukan bagi para walinya.
·
Dalam hal pernikahan Jika ada cacat dalam mahar maka
boleh dikembalikan dan akadnya tetap sah dengan konsekuensi harus diganti.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Akad adalah segala
sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasakan keinginananya sendiri seperti
waqaf, talak, pembebasan, dan segala sesuatu yang pembentukannya membutuhkan
keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai
2. Dalam
pembentukan akad, baru dapat dikatakan benar, sah atau diakui keberadaannya
oleh hukum apabila semua unsur pembentuknya terpenuhi sesuai dengan ketentuan
yang berlaku
3. Rukun –
Rukun Akad
a. Aqid (Orang
yang Menyelenggarakan Akad)
b. Mauqud Alaih
c. Shighat
4. Syarat –
syarat Akad
Adapun syrat Akad dibedakan menjadi
3 yaitu :
a. Syarat
terjadinya Akad
b. Syarat
Pelaksanaan akad
c. Syarat
Kepastian Akad (luzum)
5. Adapun
mengenai jenis-jenis akad, ternyata banyak sekali macam-macam akad yang dilihat
dari berbagai perspektif, baik dari segi ketentuan syari'ahnya, cara
pelaksanaan, zat benda-benda, dan lain-lain
6. Kedudukan
dan fungsi akad adalah sebagai alat paling utama dalam sah atau tidaknya
muamalah dan menjadi tujuan akhir dari muamalah.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis mengharap
kritikdan saran dari pembaca agar bisa menjadikan tulisan ini menjadi lebih
baik.
DAFTAR PUSTAKA
ü Dimyauddin
Djuwaini.Pengantar Fiqh Muamalah.Yogyakarta:Pustaka pelajar,2008
ü Rahmat
Syafei. Fiqih Muamalah.Bandung:Pustaka Setia,2006
ü Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo Persada
ü http://chezam.wordpress.com/
ü http://fsqcairo.blogspot.com/2009/03/sumber-sumber-perikatan-dengan.html
0 komentar:
Post a Comment