Sore itu, Jum'at tanggal 10 Oktober 2025, langit Jakarta tampak teduh meski lalu lintas di sekitarnya masih riuh. Kami, rombongan Guru Pendidikan Agama Islam dari Jawa Timur, melangkah penuh semangat menuju Masjid Istiqlal—masjid terbesar di Asia Tenggara, simbol kemerdekaan dan persatuan bangsa. Kami datang bukan sekadar berkunjung, tetapi menjalani rihlah ilmiah; sebuah perjalanan untuk belajar, merenung, dan memperkaya jiwa.
Begitu kaki menapaki halaman masjid, udara terasa berbeda. Aroma karpet masjid, gema adzan yang lembut, dan pancaran cahaya sore di antara pilar-pilar megah menghadirkan suasana yang menenangkan. Kami disambut dengan ramah oleh pihak marbot dan pengelola masjid, membuat kami merasa benar-benar seperti tamu istimewa — tamu VIP di rumah Allah.
Menjelang shalat Magrib berjamaah, suasana semakin khusyuk. Ribuan jamaah berdiri sejajar tanpa melihat perbedaan pangkat, asal, atau status. Dalam barisan shaf itu, aku merasakan makna ukhuwah Islamiyah yang sejati — persaudaraan yang menyatukan hati hanya karena Allah. Seolah setiap takbir dan sujud menjadi pengingat bahwa ilmu dan ibadah tak bisa dipisahkan; keduanya adalah jalan menuju kedamaian dan keberkahan hidup.
Usai shalat, kami mendengarkan ceramah inspiratif dari marbot Masjid Istiqlal. Beliau bercerita tentang sejarah masjid ini — bagaimana Presiden Soekarno meletakkan batu pertama, dan bagaimana Masjid Istiqlal dibangun sebagai simbol kemerdekaan bangsa Indonesia yang berlandaskan ketuhanan. Cerita itu bukan sekadar sejarah bangunan, tapi sebuah pesan spiritual tentang perjuangan, kesabaran, dan keikhlasan dalam membangun peradaban.
Dari perjalanan ini, aku belajar banyak hal.
Bahwa masjid bukan hanya tempat ibadah, tapi juga pusat ilmu dan kebudayaan. Bahwa guru agama bukan sekadar pengajar ayat dan hadis, tapi penjaga nilai-nilai moral umat. Dan bahwa setiap langkah menuju ilmu yang disertai niat tulus akan bernilai ibadah di sisi Allah.
Rihlah ilmiah ini meninggalkan kesan mendalam tentang pentingnya menyatukan ilmu, iman, dan amal, tentang betapa berharganya waktu untuk merenungi makna keberagamaan di tengah kemegahan simbol kebangsaan. Pulang dari Istiqlal, hati terasa lebih tenang, pikiran lebih jernih, dan semangat mengajar pun tumbuh kembali dengan niat yang lebih lurus.
“Perjalanan ke Masjid Istiqlal bukan sekadar langkah menuju bangunan megah, tapi perjalanan menuju kedalaman hati tempat ilmu dan iman bertemu dalam satu sujud yang tulus.”
Ahmad Khoyin - GPAI SMAN 1 Babat Lamongan
0 komentar:
Post a Comment