Ukhuwah Islamiah
Tulisan (alm) Kiai Sahal tentang ukhuwah islamiah
Kata ukhuwah berasal dari bahasa Arab, adalah bentuk abstrak dari kata akhun. Struktur katanya sama dengan kata bunuwah dari kata ibnun yang artinya anak laki-laki. Akhun dapat berarti saudara, bentuk jamaknya ikhwah, dapat pula diartikan kawan, bentuk jamaknya ikhwan. Kata ukuwah menurut bahasa bisa diartikan kesaudaraan/persaudaraan atau kekawanan/perkawanan.
Dalam penggunaan sehari-hari, sering juga dipakai dua pengertian tersebut. Dalam Al-Qur’an, hubungan antar kaum mukmin disebut ikhwah atau ikhwan, yang berarti bahwa seorang mukmin bukan sekadar teman bagi mukmin yang lain, namun lebih dari itu adalah saudara. Tetapi dalam ayat lain juga disebutkan sebagai ikhwan yang juga diperkuat oleh hadits.
Ukhuwah Islamiah, dengan dermikian berarti hubungan persaudaraan atau perkawanan antarsesama umat Islam, dan dalam konteks keindonesiaan adalah seluruh umat Islam di Indonesia, baik yang tergabung dalam ormas Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah maupun yang lain. Ukhuwah Islamiah dimaksud, seperti lazimnya hubungan persaudaraan antaranggota keluarga tertentu, sebagai suatu komunitas tentu mengandung nilai-nilai pengikat khusus, baik yang disepakati bersama, yang tumbuh dari keyakinan dogmatis, maupun yang tumbuh secara naluriah atau fitriah.
Tetapi meskipun ada pengikat yang amat kuat dan melekat sekalipun, tidak berarti tanpa perbedaan. Sebagai umat, masing-masing mempunyai ciri, watak, latar belakang kehidupan dan wawasan berbeda satu sama lain. Unsur pengikat dalam upaya menumbuhkan Ukhuwah Islamiah adalah keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, Muhammad SAW. Ikatan akidah inilah yang paling kuat dibanding ikatan darah atau keturunan. Ia merupakan pondasi yang kokoh untuk suatu bangunan yang disebut Ukhuwah Islamiah. Rasa dan keyakinan satu Tuhan, satu Rasul, dan seiman, yang kemudian diejawantahkan dalam sikap dan perilaku luhur, sarat dengan nilai akhlak karimah dan solidaritas sosial yang dalam. Di sini dituntut adanya kesadaran akan hak dan kewajiban antarsesama muslim dan mukmin.
Meskipun ada perbedaan, kebhinekaan, dan keberagaman dalam berbagai aspek kehidupan, hal itu tidak berakibat munculnya khusumah (permusuhan), adawah (perlawanan), maupun muhasadah (saling menghasut), karena kuatnya pengikat tersebut. Ukhuwah yang menumbuhkan sikap saling melengkapi kekurangan dengan dasar ikhlas dan saling pengertian yang luas demi kemaslahatan, merupakan potensi yang selalu didambakan. Tentu saja dalam hal ini masing-masing berada pada posisinya sesuai dengan kelebihan dan potensi yang dimiliki.
***
Memang diakui bahwa realisasi Ukhuwah Islamiah tidak semulus yang ingin dicapai. Disini perlu telaah mendalam mengenai faktor-faktor penghambat. Secara umum dapat dikemukakan antara lain, adanya fanatisme buta dan rasa bangga diri yang berlebihan. Faktor sektarian ini kadang sampai pada penilaian benar-salah yang mengakibatkan ketegangan atau kesenjangan tertentu.
Faktor lain adalah sempitnya wawasan, ketertutupan, dan kurang atau bahkan tiadanya silaturahim dan dialog mencari titik-titik kemaslahatan. Lebih dari itu faktor penghambat utama adalah tingkat akhlak yang relatif masih rendah, sehingga sering timbul sikap tahasud, saling mencela, dan ghibah (rerasan).
Hambatan yang paling mendasar adalah lemahnya kesadaran dan rasa kasih sayang terhadap sesama. Padahal Rasulullah SAW sampai-sampai menekankan dan menggantungkan iman seseorang pada sejauh mana ia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri. Yang terjadi justru sebaliknya, seorang mukmin kurang mensyukuri, bahkan tidak senang melihat kesuksesan mukmin lain, terkadang malah lebih senang melihat kegagalannya.
Di sini sering terjadi sikap kompetisi yang yang kurang sehat, sikap mendominasi yang lain, dan megklaim apa saja yang berwatak positif bagi diri dan kelompoknya. Upaya mengatasi hambatan-hambatan tersebut dapat dilakukan semua pihak, untuk pada gilirannya ukhuwah itu sendiri menjadi potensi yang sangat bermanfaat, bukan saja bagi warga kedua belah pihak, namun bagi seluruh warga negara Indonesia. Terciptalah kemudian sikap kebersamaan dalam keragaman. Hal ini juga merupakan cerminan dari kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Bagaimana menghilangkan atau paling tidak memperkecil porsi sektarianisme dalam berbagai bidang yang menyangkut aspek-aspek kehidupan? Bagaimana pula meningkatkan sikap dan perilaku akhlak karimah serta mengembangkan sikap tasamuh, tawasut dan i’tidal? Bagaimana pula melembagakan silaturahim dan dialog untuk mencari titik maslahah untuk menghadapi tantangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta arus budaya dan perubahan nilai?
Semua pertanyaan ini memerlukan jawaban yang jelas dan konseptual, yang dapat dirumuskan dalam forum-forum yang lebih serius. Namun sebelum semua pertanyaan di atas akan dijawab, ada satu pertanyaan yang sangat mendasar, yang jawabannya akan sangat mempengaruhi atas perlu tidaknya pertanyaan yang lain dicari jawabannya. Pertanyaan dimaksud ialah: “Benarkah kita berniat menegakkan Ukhuwah Islamiah Indonesia?”.
*Artikel ini diambil dari buku Nuansa Fiqih Sosial, LKiS, 1994
Tulisan (alm) Kiai Sahal tentang ukhuwah islamiah
Kata ukhuwah berasal dari bahasa Arab, adalah bentuk abstrak dari kata akhun. Struktur katanya sama dengan kata bunuwah dari kata ibnun yang artinya anak laki-laki. Akhun dapat berarti saudara, bentuk jamaknya ikhwah, dapat pula diartikan kawan, bentuk jamaknya ikhwan. Kata ukuwah menurut bahasa bisa diartikan kesaudaraan/persaudaraan atau kekawanan/perkawanan.
Dalam penggunaan sehari-hari, sering juga dipakai dua pengertian tersebut. Dalam Al-Qur’an, hubungan antar kaum mukmin disebut ikhwah atau ikhwan, yang berarti bahwa seorang mukmin bukan sekadar teman bagi mukmin yang lain, namun lebih dari itu adalah saudara. Tetapi dalam ayat lain juga disebutkan sebagai ikhwan yang juga diperkuat oleh hadits.
Ukhuwah Islamiah, dengan dermikian berarti hubungan persaudaraan atau perkawanan antarsesama umat Islam, dan dalam konteks keindonesiaan adalah seluruh umat Islam di Indonesia, baik yang tergabung dalam ormas Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah maupun yang lain. Ukhuwah Islamiah dimaksud, seperti lazimnya hubungan persaudaraan antaranggota keluarga tertentu, sebagai suatu komunitas tentu mengandung nilai-nilai pengikat khusus, baik yang disepakati bersama, yang tumbuh dari keyakinan dogmatis, maupun yang tumbuh secara naluriah atau fitriah.
Tetapi meskipun ada pengikat yang amat kuat dan melekat sekalipun, tidak berarti tanpa perbedaan. Sebagai umat, masing-masing mempunyai ciri, watak, latar belakang kehidupan dan wawasan berbeda satu sama lain. Unsur pengikat dalam upaya menumbuhkan Ukhuwah Islamiah adalah keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, Muhammad SAW. Ikatan akidah inilah yang paling kuat dibanding ikatan darah atau keturunan. Ia merupakan pondasi yang kokoh untuk suatu bangunan yang disebut Ukhuwah Islamiah. Rasa dan keyakinan satu Tuhan, satu Rasul, dan seiman, yang kemudian diejawantahkan dalam sikap dan perilaku luhur, sarat dengan nilai akhlak karimah dan solidaritas sosial yang dalam. Di sini dituntut adanya kesadaran akan hak dan kewajiban antarsesama muslim dan mukmin.
Meskipun ada perbedaan, kebhinekaan, dan keberagaman dalam berbagai aspek kehidupan, hal itu tidak berakibat munculnya khusumah (permusuhan), adawah (perlawanan), maupun muhasadah (saling menghasut), karena kuatnya pengikat tersebut. Ukhuwah yang menumbuhkan sikap saling melengkapi kekurangan dengan dasar ikhlas dan saling pengertian yang luas demi kemaslahatan, merupakan potensi yang selalu didambakan. Tentu saja dalam hal ini masing-masing berada pada posisinya sesuai dengan kelebihan dan potensi yang dimiliki.
***
Memang diakui bahwa realisasi Ukhuwah Islamiah tidak semulus yang ingin dicapai. Disini perlu telaah mendalam mengenai faktor-faktor penghambat. Secara umum dapat dikemukakan antara lain, adanya fanatisme buta dan rasa bangga diri yang berlebihan. Faktor sektarian ini kadang sampai pada penilaian benar-salah yang mengakibatkan ketegangan atau kesenjangan tertentu.
Faktor lain adalah sempitnya wawasan, ketertutupan, dan kurang atau bahkan tiadanya silaturahim dan dialog mencari titik-titik kemaslahatan. Lebih dari itu faktor penghambat utama adalah tingkat akhlak yang relatif masih rendah, sehingga sering timbul sikap tahasud, saling mencela, dan ghibah (rerasan).
Hambatan yang paling mendasar adalah lemahnya kesadaran dan rasa kasih sayang terhadap sesama. Padahal Rasulullah SAW sampai-sampai menekankan dan menggantungkan iman seseorang pada sejauh mana ia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri. Yang terjadi justru sebaliknya, seorang mukmin kurang mensyukuri, bahkan tidak senang melihat kesuksesan mukmin lain, terkadang malah lebih senang melihat kegagalannya.
Di sini sering terjadi sikap kompetisi yang yang kurang sehat, sikap mendominasi yang lain, dan megklaim apa saja yang berwatak positif bagi diri dan kelompoknya. Upaya mengatasi hambatan-hambatan tersebut dapat dilakukan semua pihak, untuk pada gilirannya ukhuwah itu sendiri menjadi potensi yang sangat bermanfaat, bukan saja bagi warga kedua belah pihak, namun bagi seluruh warga negara Indonesia. Terciptalah kemudian sikap kebersamaan dalam keragaman. Hal ini juga merupakan cerminan dari kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Bagaimana menghilangkan atau paling tidak memperkecil porsi sektarianisme dalam berbagai bidang yang menyangkut aspek-aspek kehidupan? Bagaimana pula meningkatkan sikap dan perilaku akhlak karimah serta mengembangkan sikap tasamuh, tawasut dan i’tidal? Bagaimana pula melembagakan silaturahim dan dialog untuk mencari titik maslahah untuk menghadapi tantangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta arus budaya dan perubahan nilai?
Semua pertanyaan ini memerlukan jawaban yang jelas dan konseptual, yang dapat dirumuskan dalam forum-forum yang lebih serius. Namun sebelum semua pertanyaan di atas akan dijawab, ada satu pertanyaan yang sangat mendasar, yang jawabannya akan sangat mempengaruhi atas perlu tidaknya pertanyaan yang lain dicari jawabannya. Pertanyaan dimaksud ialah: “Benarkah kita berniat menegakkan Ukhuwah Islamiah Indonesia?”.
*Artikel ini diambil dari buku Nuansa Fiqih Sosial, LKiS, 1994
0 komentar:
Post a Comment