Belajar Atau Bubar
Sebuah ungkapan arif pernah bertutur : ‘we can never step into the same river twice’. Ini bisa terjadi, karena setiap detik air sungai itu berganti. Sama dan sebangun dengan sungai, sejarah dan kecenderungan juga demikian. Tidak ada sejarah dan kecenderungan yang berulang persis sama. Jangankan dalam dimensi tahunan dan abad, dalam dimensi harian saja sejarah dan kecenderungan muncul dengan wajah berbeda.
Lihat saja sejarah negara, perusahaan maupun kisah perseorangan. Satu-satunya yang tetap hanyalah perubahan. Di luar perubahan hanya ada perubahan. Belakangan, perubahan itu bahkan bergerak dengan kecepatan yang semakin tinggi dan semakin tinggi. Semakin pendeknya umur hidup produk atau jasa, tingkat kebangkrutan perusahaan yang meninggi di mana-mana, runtuhnya banyak rezim politik yang berkuasa dalam waktu yang lama, semakin tidak jelasnya batas-batas industri dan persaingan, pengaruh teknologi informasi yang demikian dahsyat, semakin banyak dan dalamnya knowledge content setiap produk dan jasa baru yang merajai pasaran, hanyalah sebagian saja dari bukti dahsyatnya perubahan.
Lebih dari sekadar memaksa kita untuk berubah, sejumlah aturan main, paradigma dan sejenisnya bahkan dijungkirbalikkan oleh kecenderungan dan perubahan. Bukti paling sahih, memang terlihat jelas dalam lenyapnya lebih dari sebagian nama-nama perusahaan 500 dalam waktu sepuluh tahun. Baik akibat merger, akuisisi, kebangkrutan ataupun sebab lainnya. Atau rontoknya puncak piramida ekonomi Indonesia dalam waktu yang amat singkat.
Mirip dengan pengandaian sungai di atas, kecenderungan memang berganti wajah setiap saat. Ia tidak menyisakan alternatif lain selaih harus berubah. Sayangnya, merubah mind set memiliki derajat kesulitan yang jauh lebih tinggi dibandingkan merubah teknologi dan variabel perubahan lainnya. Baik karena faktor keberhasilan, kenyamanan, pendidikan, pengalaman atau sebab lainnya.
Dalam bingkai hidup seperti ini, tentu saja hanya sebuah gerakan bunuh diri kalau ada pelaku organisasi yang hidup nyaman dalam comfortable zone of mind. Sebuah wilayah berfikir tanpa penyangkalan. Sinyal apakah Anda sedang bunuh diri atau tidak, sebenarnya mudah dan sederhana. Coba perhatikan paradigma Anda mengelola dan keyakinan-keyakinan Anda. Kalau dalam waktu yang amat lama tidak ada perubahan, alias berputar dari itu ke itu, inilah bentuk bunuh diri yang halus dan tidak manusiawi. Halus, karena tidak kita sadari. Tidak manusiawi, sebab keluar dari kebiasaan umum manusia untuk bunuh diri. Lebih-lebih, sudah tidak berubah dalam waktu yang amat lama, ditambah dengan kebiasaan alam bawah sadar yang kerap berujar : ‘saya sudah berpengalaman puluhan tahun, saya memiliki ratusan buku, saya lulusan sekolah terbaik’ dan sederetan kebanggaan lainnya.
Inilah deretan manusia yang amat potensial membuat organisasi jadi bubar. Dibandingkan bubar, jauh lebih baik membekali diri dan organisasi dengan kebiasaan belajar. Fundamental dalam aktivitas belajar terakhir, adalah keberanian untuk secara rajin melakukan penyangkalan terhadap paradigma mengelola dan keyakinan-keyakinan kita sendiri.
Dari manapun paradigma dan keyakinan itu sendiri datang – entah dari pengalaman, pendidikan atau rekomendasi pakar dan konsultan – sebelum dibunuh secara halus dan tidak manusiawi, sebaiknya disangkal, disangkal dan disangkal.
Sebagaimana dituturkan secara amat kaya oleh sejarah, perkembangan peradaban bisa demikian pesat karena kental dengan penyangkalan. Bumi datar disangkal dengan bumi bundar. Manusia tidak bisa terbang disangkal dengan pesawat terbang. Bulan tidak bisa diduduki, disangkal dengan penerbangan Apollo. Dunia yang penuh batas negara dijebol dengan desa global melalui internet. Telepon dengan kabel, disangkal dengan telepon seluler.
Di dunia manajemen juga sama. Semakin banyak sudut manajemen yang ditandai dengan penyangkalan, maka semakin kayalah manajemen secara ide dan inovasi. Demikian juga sebaliknya. Dulu, kekayaan hanya identik dengan kekayaan fisik dan materi. Sekarang, sebagaimana dibuktikan oleh banyak pioneer kemajuan, kekayaan intelektuallah yang amat menentukan. Dulu, besarnya kekayaan materi dan fisik amat menjadi pembatas kemajuan. Sekarang, sebagaimana ditunjukkan oleh perusahaan seperti Microsoft, kekayaan materi dan fisik bukanlah pembatas kemajuan. Di tingkat kekayaan fisik dan materi manapun, lompatan kemajuan bisa dilakukan. Asal, ya itu tadi kekayaan intelektual terkelola dengan memadai. Dulu, kecenderungan adalah sesuatu yang given dan mesti diadaptasi. Sekarang, ada banyak orang dan organisasi yang justru maju karena menciptakan kecenderungan.
Dengan bekerjanya lingkaran penyangkalan, kepala dan organisasi bergerak dan berputar dalam dan menuju wilayah yang amat kaya secara intelektual. Tindakan – yang diakui sebagai ujung tombak kemajuan – hanyalah sebuah jeda dalam putaran penyangkalan yang terus bergulir.
Mirip dengan debat tentang sungai. Ada yang mengatakan bahwa sungai itu adalah air. Ada yang menyangkal, dengan menyebutkan bahwa sungai itu sebuah cekungan dan lekukan tanah. Dalam kasus ini, kegiatan penyangkalan tidak menolkan – apalagi mensubstitusi – argumen yang disangkal. Namun, secara kompelenter melengkapinya.
Proses kompelementer terakhir, seyogyanya dilakukan oleh pemimpin atau manajemen puncak. Namun, agar penyangkalan berjalan terus, bukan sesuatu yang keliru kalau pimpinan juga menciptakan disharmoni. Rekan saya menyebutnya dengan chaos based management. Kacau memang – sama kacaunya dengan tulisan brengsek ini, namun jauh lebih berguna dibandingkan bubar.
0 komentar:
Post a Comment